NEWS  

Polemik Sengketa Tanah Sugihwaras Kembali Menghangat, Praktisi Hukum Soroti Validitas Dasar Peralihan Hak

Magetan — Net88.co — Sengketa tanah dalam perkara perdata Nomor 14/Pdt.G/2025/PN Mgt kembali memasuki babak penting setelah praktisi hukum Wahyu Dhita Putranto memberikan analisis kritis terhadap dasar hukum peralihan hak yang digunakan pihak tergugat. Perkara dengan objek tanah seluas 340 meter persegi bersertifikat SHM No. 422 Desa Sugihwaras itu kini berada dalam pengawasan publik menyusul munculnya sejumlah kejanggalan dalam dokumen peralihan.

Sebelumnya, kuasa hukum tergugat mengklaim peralihan hak atas tanah tersebut didasarkan pada Perjanjian Ikatan Jual Beli (PIJB) lunas yang dibuat di hadapan notaris pada 13 Mei 1995, dilengkapi dengan surat kuasa menjual menuju pembuatan Akta Jual Beli (AJB). Namun, bagi Wahyu, konstruksi hukum tersebut tidak dapat diterima begitu saja tanpa pengujian yang mendalam.

“Saya tidak sedang membela siapa pun. Ini adalah analisa hukum objektif agar persidangan tidak melenceng dari prinsip keadilan,” ujar Wahyu saat dikonfirmasi pada Kamis (20/11/2025).

BACA JUGA :
Skandal Dugaan Manipulasi Nilai Rapor SDN Magetan 2 Berlanjut, Dikpora : "Itu Kewenangan Kepala Sekolah!!!"

Ia menekankan bahwa keberlakuan kuasa menjual tidak bisa dilepaskan dari Pasal 1813 KUH Perdata yang menyatakan bahwa kuasa otomatis gugur ketika pemberi kuasa meninggal dunia. Kondisi inilah yang menurutnya menjadi titik krusial terkait keabsahan AJB No. 455 Tahun 2000.

Lebih jauh, Wahyu juga menyinggung Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1982 yang menegaskan larangan penggunaan kuasa mutlak untuk memindahkan hak atas tanah. Ia menilai praktik tersebut masih marak terjadi dan berulang kali menimbulkan sengketa serupa di berbagai daerah.

“Penyalahgunaan PIJB lunas dan kuasa mutlak sering dijadikan jalan pintas untuk mengambil alih jaminan utang. Ini pola lama, dan majelis hakim perlu jeli melihat indikasi tersebut dalam perkara ini,” tegasnya.

BACA JUGA :
Wakil Bupati Sidoarjo Sidak TPA Jabon, Tinjau Penanganan dan Pengolahan Sampah Ramah Lingkungan

Menurut dia, penggunaan PIJB lunas dalam kasus ini layak dicurigai sebagai pintu masuk penyelundupan hukum, terutama bila hubungan hukum yang sesungguhnya lebih mendekati transaksi pinjam-meminjam daripada jual beli.

Selain itu, Wahyu mempertanyakan alasan di balik tidak dibuatnya AJB setelah PIJB ditandatangani pada 1995. Pertanyaan ini, menurutnya, adalah bagian dari upaya menyingkap apakah peristiwa jual beli benar-benar terjadi.

“Jika benar ada transaksi jual-beli, mengapa akta autentiknya tidak segera dibuat? Ini hal mendasar yang harus dijelaskan pihak tergugat,” ujarnya.

Aspek lain yang juga disorot yakni status objek sengketa sebagai harta gono-gini. Dalam ketentuan hukum perdata, peralihan hak atas harta bersama wajib mendapat persetujuan kedua pasangan. Ketidakhadiran tanda tangan salah satu pasangan otomatis menjadikan dokumen cacat.

BACA JUGA :
Kisruh Dugaan Pemalsuan Dokumen PTSL, Kades Balegondo Ngariboyo Akui Kesalahan di Pokmas

Analisa Wahyu sejalan dengan argumentasi kuasa hukum penggugat, Dasi S.H., yang sejak awal menggugat keabsahan AJB No. 455/2000 lantaran dibuat setelah pemberi kuasa meninggal serta tanpa persetujuan istri sebagai pemilik bersama.

Dasi sebelumnya menyatakan, “Dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kuasa itu gugur. Ditambah lagi tidak adanya persetujuan istri dalam AJB tersebut, maka keabsahannya sangat diragukan.”

Menutup pandangannya, Wahyu menekankan pentingnya objektivitas majelis hakim dalam memutus perkara ini.

“Peradilan harus menjadi tempat tegaknya kebenaran. Proses hukum yang jujur dan sesuai aturan adalah satu-satunya jalan agar keadilan dapat dirasakan semua pihak. Satyam Eva Jayate “Kebenaran Pasti Menang,” pungkasnya. (Vha)