Bondowoso, NET88.CO – Edisi sebelumnya sudah dibahas mengapa SK Direktur PDAM dikatakan cacat hukum baik secara prosedural maupun materiil.
Sehingga SK ini kemudian dikatakan juga cacat kewenangan dan harus dibatalkan demi hukum.
Di edisi ini kami mencoba mengulas penyertaan dalam penyalahgunaan kewenangan.
Seperti kita ketahui, SK Direktur PDAM Bondowoso tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang (baca pemberitaan-pemberitaan terkait PDAM sebelumnya, red).
SK ini ditandatangani oleh Pj. Bupati kala itu, yang secara aturan tidak berwenang. Ketentuan ini diatur dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2018 dan dijelaskan lebih lanjut dalam Perbup Nomor 52 Tahun 2019 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Pengawas atau Anggota Komisaris dan Anggota Direksi BUMD Kabupaten Bondowoso.
Dalam Perbup ini dijelaskan bahwa Pengangkatan Direksi dilakukan dengan Keputusan KPM bagi Perumda.
Siapa yang dimaksud KPM ini dijelaskan pada pasal 1 angka 5, yang menjelaskan bahwa KPM adalah Bupati yang mewakili Pemerintah Daerah.
Dalam peraturan ini tidak dijelaskan kondisi dalam hal Pemerintah Daerah dipimpin oleh pejabat yang ditunjuk (Pj, red). Artinya, SK Pengangkatan Direktur PDAM tidak ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Secara ringkas, SK yang tidak ditandatangani pejabat yang berwenang tidak memiliki kekuatan hukum dan berpotensi menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak yang membuat dan menggunakan SK tersebut.
Proses penyusunan, penandatanganan, dan penerbitan SK ini tentunya tidak bisa dilakukan oleh 1 atau 2 orang saja. Maka kemudian menarik untuk membahas penyertaan dalam “kejahatan korporasi” ini.
Penyertaan dalam hukum pidana Indonesia merujuk pada keterlibatan lebih dari satu orang dalam melakukan tindak pidana. Konsep ini diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Penyertaan terbagi menjadi dua kategori utama : Pembuat (dader) dan Pembantu (medeplichtige).
Dalam Pasal 55 KUHP, jenis penyertaan (pihak yang turut serta melakukan tindak pidana, red) dibagi menjadi Pelaku (pleger) yaitu orang yang melakukan tindak pidana secara langsung dan memenuhi unsur perbuatan pidana; Penyuruh (doenpleger), yaitu orang yang memerintahkan orang lain untuk melakukan tindak pidana; Turut serta (medepleger), yaitu orang yang bersama-sama sepakat dan melakukan tindak pidana secara bersama-sama; dan Penganjur (uitlokker), yaitu orang yang sengaja membujuk atau mendorong orang lain untuk melakukan tindak pidana.
Selanjutnya dalam pasal 56 KUHP juga dijelaskan bahwa dipidana sebagai pembantu kejahatan mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Menurut beberapa pakar hukum, penyertaan bisa berupa keterlibatan secara fisik maupun psikis dalam suatu tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana setiap peserta penyertaan bisa berbeda tergantung peran dan keterlibatan mereka. Penyertaan dibedakan antara yang berdiri sendiri (pelaku dan yang turut serta) dan yang tidak berdiri sendiri (pembujuk, pembantu, penyuruh).
Dengan demikian, penyertaan dalam hukum pidana adalah konsep yang memperluas pertanggungjawaban pidana tidak hanya kepada pelaku utama tetapi juga kepada mereka yang turut serta, menyuruh, menganjurkan, atau membantu dalam melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP
Pembuktian penyertaan dalam tindak pidana korupsi dilakukan dengan menunjukkan keterlibatan seseorang dalam proses atau perbuatan yang mewujudkan tindak pidana korupsi tersebut. Dalam praktik hukum di Indonesia, pembuktian ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai alat bukti yang meyakinkan hakim bahwa terdakwa mempunyai peran dalam tindak pidana korupsi, baik sebagai pelaku utama, penyuruh, pembantu, atau penganjur sesuai dengan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Contoh kasus sanksi korupsi pejabat terkait Surat Keputusan (SK) adalah putusan perkara korupsi di Pengadilan Negeri Kupang tahun 2019 (Nomor 28/Pid.Sus-TPK/2019/PN Kpg). Para terdakwa dalam kasus ini dijatuhi hukuman penjara 3 sampai 4 tahun dan denda Rp. 50 juta dengan ancaman pengganti kurungan bila tidak membayar denda. Selain itu, barang bukti berupa buku tabungan dikembalikan kepada para terdakwa sebagai bagian dari pemulihan perkara.
Contoh lain adalah kasus dugaan korupsi kuota haji 2024, SK Menteri Agama yang menjadi dasar pembagian kuota dinilai bertentangan dengan aturan yang berlaku sehingga menjadi barang bukti dalam penyelidikan KPK. Hal ini menegaskan bahwa SK yang bermasalah dapat berimplikasi pada dakwaan korupsi bagi pejabat terkait.
Kasus-kasus ini mencerminkan bagaimana penerbitan SK yang tidak sesuai kewenangan atau sebagai bagian dari tindakan korupsi akan berujung pada proses hukum dan sanksi pidana bagi pejabat yang terlibat. Sanksi yang dijatuhkan meliputi hukuman penjara dan denda menurut undang-undang tindak pidana korupsi. Kasus-kasus ini juga menunjukkan pentingnya legalitas dan prosedur yang benar dalam penerbitan SK untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dan korupsi.
Dan kembali lagi kepada kasus PDAM Bondowoso, dapatkah APH menjalankan fungsinya sesuai harapan. Karena kasus ini adalah delik jabatan, sehingga APH dapat menindaklanjutinya secara langsung meski tidak ada pengaduan atau laporan sebelumnya. (bersambung)
Penulis : Bang Juned