Oleh: Febriyan Pemuda Asli Songenep
SUMENEP NET88.CO
Hasil survei Academica and Social Studies (Acces) baru-baru ini menjadi viral karena menyebut mayoritas generasi muda di Sumenep pesimistis terhadap duet Fauzi–Imam dalam memimpin Kabupaten Sumenep. Tidak tanggung-tanggung, 68,1 persen responden disebutkan kurang yakin dengan arah kepemimpinan mereka. Namun, benarkah kesimpulan itu mencerminkan realitas secara utuh?
Survei ini perlu dilihat secara hati-hati. Pertama, metode dan jumlah responden hanya 122 orang usia 17–30 tahun. Tentu ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total populasi muda di Sumenep yang jauh lebih besar. Apakah mungkin angka sekecil itu bisa menjadi dasar untuk menghakimi kinerja kepala daerah?
Lebih dari itu, publik juga perlu memahami bahwa 100 hari pertama bukanlah waktu yang cukup untuk mengukur keberhasilan sebuah pemerintahan, terlebih dalam konteks kompleks seperti Sumenep — dengan tantangan geografis, administratif, hingga sosial-budaya yang tidak ringan. Alih-alih mengejar popularitas instan, pemerintahan Fauzi–Imam terlihat fokus pada penataan internal dan fondasi program kerja jangka menengah.
Dalam masa awal ini, mereka tengah menyiapkan berbagai pendekatan baru yang tidak selalu langsung terlihat mata publik. Di bidang pendidikan, mereka mendorong digitalisasi sekolah kepulauan. Di bidang kesehatan, konsep pelayanan berbasis rujukan jarak jauh sudah mulai diuji coba. Bahkan dalam bidang infrastruktur, survei dan pemetaan wilayah terisolir sudah masuk tahap finalisasi.
Memang, realisasi janji kampanye belum semuanya tampak. Tapi haruskah kita mengabaikan proses hanya karena tidak sabar dengan hasil? Demokrasi bukan soal siapa paling cepat, tapi siapa paling konsisten. Menilai pemimpin dari kerja kilat 100 hari adalah seperti menilai petani dari biji yang baru ditanam.
Yang lebih ironis, kritik yang berkembang justru lebih banyak datang dari ruang digital, bukan dari partisipasi langsung. Kita hidup di era yang begitu mudah membentuk persepsi negatif hanya dengan unggahan atau komentar. Tapi sejatinya, perubahan tidak lahir dari media sosial. Perubahan lahir dari ruang partisipatif: diskusi, audiensi, musyawarah, keterlibatan.
Fauzi–Imam bukan tanpa cela. Tapi mereka telah menunjukkan arah — bukan sekadar bertahan di zona nyaman, melainkan membuka ruang evaluasi dan komunikasi. Ini bukan pembelaan buta, ini seruan untuk adil dalam menilai proses. Apakah kita akan terus menjadi generasi pengeluh, atau berani menjadi generasi pengawal perubahan?
Karena membangun Sumenep bukan tugas bupati saja. Itu tugas kita semua.