NEWS  

Valen Juara Nasional, Pamekasan Tetap Membatasi Musik: Sebuah Paradoks

Pamekasan NET88.CO
Valen telah mengharumkan nama Madura, khususnya Kabupaten Pamekasan. Pada malam puncak Dangdut Academy Indosiar, Valen tampil membanggakan dan meraih Juara 2, kalah tipis dari Tasya asal Tangerang yang keluar sebagai juara pertama. Prestasi ini disambut suka cita oleh masyarakat Madura, menjadi bukti bahwa daerah yang kerap dicap “tertutup” ternyata melahirkan talenta besar di panggung nasional.

Namun kebanggaan itu menyisakan ironi yang pahit. Di saat Valen dielu-elukan sebagai ikon prestasi seni, Pamekasan justru masih dikenal sebagai daerah yang alergi terhadap konser musik. Ruang ekspresi yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya talenta seperti Valen justru dibatasi, bahkan nyaris dimatikan.

Larangan konser musik di Pamekasan memang tidak tertulis secara formal dalam peraturan daerah. Tapi dalam praktiknya, larangan itu hidup dan bekerja efektif melalui tekanan ormas keagamaan. Pemerintah daerah tampak tidak berdaya, memilih jalan aman dengan membiarkan “hukum sosial” mengalahkan hukum negara. Akibatnya, kepastian hukum hilang, kreativitas terpasung, dan generasi muda kehilangan ruang berekspresi.

BACA JUGA :
Semangat ZI Menuju WBK, LP Narkotaika Pamekasan Laksanakan Apel Penyematan Tanda Penghargaan Pegawai Teladan

Ironisnya, bahkan kegiatan lembaga negara seperti KPU pun pernah dibatasi unsur hiburannya. Jika lembaga resmi negara saja harus menyesuaikan diri pada tekanan kelompok tertentu, lalu di mana posisi pemerintah daerah sebagai pemegang otoritas? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat Valen—anak daerah—harus mencari panggung dan pengakuan di luar Madura.

BACA JUGA :
KPU dan PD MIO Indonesia Sumenep Sosialisasi kepada Komunitas Perempuan

Prestasi Valen membongkar satu kenyataan penting: bakat tidak pernah salah, yang salah adalah ekosistemnya. Valen bisa bersinar bukan karena Pamekasan menyediakan ruang seni yang sehat, melainkan karena panggung nasional masih memberi kesempatan yang setara. Ini menandakan bahwa selama ini Pamekasan lebih pandai mengklaim kebanggaan, ketimbang membangun sistem yang melahirkan prestasi.

Tidak ada yang menyangkal bahwa Pamekasan adalah daerah religius. Namun religiusitas tidak boleh dijadikan alasan untuk menutup ruang seni secara membabi buta. Negara bukan milik satu tafsir moral. Ketika konser musik disapu bersih atas nama “nilai”, tanpa regulasi yang jelas dan adil, yang terjadi bukan penjagaan moral, melainkan pembatasan hak warga.

BACA JUGA :
KPU RI Memantau TPS di Kabupaten Pamekasan

Efek Valen seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah daerah. Apakah Pamekasan hanya ingin dikenal sebagai penonton prestasi anak daerah di televisi nasional, tanpa pernah memberi mereka panggung di rumah sendiri? Jika pola ini terus dibiarkan, maka Valen-Valen berikutnya akan lahir, tumbuh, dan berjaya—bukan di Pamekasan, tetapi di luar Madura.

Bangga saja tidak cukup. Tanpa keberanian melawan stagnasi kebijakan dan tekanan non-formal, Pamekasan akan terus tertinggal dalam urusan seni dan kreativitas. Valen telah membuktikan bahwa anak Madura bisa. Kini pertanyaannya: apakah Pamekasan mau berubah?

Penulis : Asmuni Bara