NEWS  

Sumenep, Negeri di Mana Semua Orang Katanya Menganggur (Termasuk Bayi dan Kakek Tua)

SUMENEP NET88.CO
Baru-baru ini, salah satu media besar tanah air mengangkat judul bombastis: “Jumlah Pengangguran di Sumenep Hampir 1 Juta orang” — katanya mengutip data resmi dari BPS.

Wah, kalau baca sekilas, bisa bikin siapa pun spontan menatap langit sambil bertanya:
“Lah terus yang nanam tembakau, yang jualan soto, yang ngurus sapi, yang ngajar di sekolah, itu siapa? Malaikat kah?”
Mari kita bedah pelan-pelan dengan logika sederhana, tapi tetap beraroma Madura.
Menurut data KPU, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Sumenep pada Pemilu 2024 mencapai sekitar 914 ribu orang. Artinya, ada 914 ribu warga yang sudah cukup umur untuk memilih—alias orang dewasa, bukan bayi, bukan bocah SD, dan jelas bukan kambing tetangga yang ikut nyoblos diam-diam.
Nah, total penduduk Sumenep menurut data BPS 2024 adalah sekitar 1,14 juta jiwa.
Artinya, kalau media itu benar bahwa jumlah pengangguran mencapai 930 ribu jiwa, maka praktis:
“Bayi baru lahir pun sudah dianggap nganggur”
Waduh, kasihan bayi umur tiga hari, baru bisa nangis, sudah dicatat negara sebagai “pengangguran terbuka”.
Lebih konyol lagi kalau hitung-hitungannya diteruskan.

“Kalau dari 1,14 juta penduduk Kabupaten Sumenep 930 ribu disebut “pengangguran”, maka hanya tinggal sekitar 200 ribuan orang yang bekerja.
Lalu siapa saja mereka?
Mungkin ASN sekitar 10 ribu, petani 157 ribu, dan UMKM 2.500-an, belum termasuk nelayan, pedagang, buruh pabrik, guru ngaji, serta emak-emak yang tiap hari jualan cilok depan SD.
Kalau semua itu dijumlah, malah lebih banyak dari angka “yang bekerja” menurut versi berita tersebut.
Logika datanya jungkir balik — kayak sandal yang salah pakai kiri kanan.
Masalahnya mungkin terletak pada definisi “bekerja” versi BPS, yang sangat teknis dan formal.

BACA JUGA :
Koordinator PKH Pasuruan Hadiri Pembagian 87 ATM KKS & Buku Tabungan Aktif di Kecamatan Grati.

BPS biasanya menganggap seseorang “bekerja” hanya kalau memenuhi kriteria tertentu dalam periode survei, misalnya bekerja minimal satu jam dalam seminggu, menerima upah, atau masuk sektor formal tertentu.
Padahal di daerah seperti Sumenep, banyak masyarakat yang bekerja secara informal: petani musiman, buruh tani harian, nelayan, penjual sate di pinggir jalan, tukang ojek, dan lain-lain semua itu nyata bekerja, tapi sering tidak “terdefinisi” secara statistik.

BACA JUGA :
Polisi Tangkap Pelaku Curat Bengkel Variasi di Menggala

Yang bikin geleng kepala, Plt. Sekda Sumenep yang juga merangkap Kadis Dukcapil malah tidak meluruskan kekacauan tafsir data ini.
Padahal beliau pegang data kependudukan paling lengkap di kabupaten.
Mestinya bisa bikin klarifikasi, misalnya:
“Tenang, yang nganggur bukan semua orang kok, bayi masih fokus menyusu.

BACA JUGA :
Cegah Tawuran dan Pencurian, Polres Pasuruan Dampingi Remaja Bangunkan Sahur

“Tapi sayangnya, klarifikasi semacam itu tidak muncul.
Masyarakat pun keburu dibuat seolah-olah hidup di negeri zombie—semua orang nganggur, tidak ada yang kerja, tidak ada yang makan, tapi ajaibnya pasar tetap ramai dan harga tembakau tetap hidup.
Lucu, tapi juga menyedihkan.
Kalau media besar dan lembaga statistik tidak hati-hati mengkomunikasikan data, publik bisa dibuat panik tanpa sebab.
Dan akhirnya, yang tertinggal hanya satu pertanyaan satir:
“Kalau semua orang Sumenep nganggur, siapa yang bikin berita itu bisa tayang?”
Hem…termasuk kita Para wartawan mungkin dianggap “pengangguran” karena kerjanya gak kelihatan apalagi gajinya ..

Penulis : Asmuni Net88,co