Penulis : Jurnalis TVONE Sumenep
SUMENEP || NET88.CO || Analisis hukum saya, kedua oknum wartawan lah yg menjadi korban dari modus operandi circle oknum polres Sumenep, sehingga dibeberapa kasus pengungkapan peredaran narkoba dan khususnya di Sumenep sendiri, diduga itu semua by design oknum APH.
Kenapa saya mengistilahkan by design, karena narkotika berjenis sabu ini sangat berbeda dengan material benda lainnya, seperti sejenis logam yang bisa dideteksi dengan metal detector atau benda yang memiliki bau/aroma yang sangat khas, yang mudah dideteksi melalui indera penciuman kita, sehingga sebelumnya kita harus bersepakat bahwa, barang haram sabu mungkin hanya malaikat yang dapat mendeteksinya dengan sendirinya, atau tidak akan melalui petunjuk dari siapapun.
Berdasarkan penelitian yang saya lakukan terhadap beberapa eks pelaku/korban narkoba, kronologinya nyaris sama.
Konon APH yang memiliki otoritas penuh terkait pencegahan peredaran Narkoba di Sumenep, bak mekanisme sopir angkot yang setiap hari hanya kejar setoran, bedanya hanya timingnya saja, yaitu antara harian dan bulanan bahkan tahunan.
Tentu, dalam setiap kasus pengungkapan Narkoba, seperti apa pemahaman para APH terhadap supremasi hukum positif kita saat ini? Jika praktik yang seakan menghalalkan segala cara pun diterapkan oleh para oknum untuk memenuhi target kerja atau tuntutan kerja.
Dapat kita amati bersama, per-bulan bahkan per-minggu pengungkapan kasuistik narkotika bak balada sepotong demi sepotong, alurnya pun menyesuaikan drama korea yang saat ini tengah trending, yaitu peran pengedar atau bandarnya merupakan aktor utama meski ujung-ujungnya terkadang harus meringkuk.
Seakan arisan, para pengguna atau korban narkoba menunggu gilirannya untuk dikeler oleh APH, entah dengan apapun caranya.
Tidak hanya sampai disitu, beberapa opsional pasal dalam setiap jeratan kasus narkoba pun terindikasi menjadi objek orderan demi keuntungan oknum, yang akan disesuaikan dengan jumlah barang buktinya, akhirnya ketika masuk pada babak meja hijau, semuanya by design meski APH yang mengungkap setiap kasus narkotika jarang sekali ditemui disetiap persidangan dan ketika dibutuhkan keterangannya oleh majelis hakim, dampaknya adalah penghuni Lembaga Pemasayarakatan atau rumah tahanan saat ini didominasi oleh tahanan narkotika.
Selain itu disetiap pengungkapan kasus narkotika, istilah modus operandi seperti tidak hanya berlaku bagi para pelaku kejahatan saja, para oknum APH pun seakan menirunya, sehingga setiap menjerat seseorang, paska penggeladahan hingga penangkapan, pasti bermunculan rumor tentang peran sosok spionase, yang belakangan menurut riset kami, merupakan sosok pria dan didominasi oleh wanita.
Saya pernah mewawancarai eks napi narkoba, DF, yang menceritakan kasus hukum yang menimpanya diwilayah hukum Polres Sumenep, dimana ketika itu DF tengah berada di kamar kostnya didaerah seputaran kota, dan ketika tepat dirinya mandi dikamar mandi, tiba-tiba terdengar suara sesosok orang yang mengaku temannya, DF waktu itu mengaku mengenali suara khas tersebut, DF menyelesaikan mandinya, ketika keluar dari kamar mandi dia tidak mendapati temannya dan tidak berselang lama, oknum APH dibidang tersebut, dengan tiba-tiba menggeledah kamar kost DF, dan menemukan sepoket sabu, akhirnya DF pun dikeler dan dijerat dengan pasal 112/114 UU Narkotika, dan divonis 4 tahun kurungan penjara lebih.
Hal tersebut, sama halnya seperti yang dialami oleh AFM, karena atas ajakan rekannya PRM, AFM hendak mengkonsumsi sabu bersama PRM, setelah keduanya bertemu, AFM berperan sebagai pelaku yang hendak membeli sabu ke seseorang pengedar yang bermama ED, namun usai bertransaksi dengan ED, AFM pun kembali ke PRM dengan kesepakatan untuk mengkonsumsi sabu secara bersama, namun sebelum tiba ditempat yang direncanakan oleh mereka berdua, AFM tiba-tiba dicegat dan digeledah, alhasil ditemukan barang tersebut dari pelaku AFM.
AFM pun dikeler dan diinterogasi oleh penyidik SATRESKOBA Polres Sumenep kala itu, dari kesekian pertanyaan penyidik, AFM menyebutkan dengan jelas identitas PRM, namun penyidik tetap fokus terhadap dirinya atau mengabaikan sosok PRM, yang menurutnya dimana seharusnya PRM juga diamankan.
Tidak hanya sampai disitu saja, berdasarkan penuturan AFM, dirinya mengaku pihak keluarganya harus mengeluarkan sejumlah uang untuk meringankan dirinya, itu untuk mendapatkan pasal 127, yang sebelumnya akan diterapkan pasal 112/114 UU Narkotika, AFM mengakui bahwa usai ditangkap dirinya menjalani tes urine, tentu hasilnya kemungkinan besar adalah negative, namun karena dalam rangka pengondisian, hasil tes urine tersebut direkayasa dan menjadi positive, sehingga ketika pelimpahan berkas P21 ke JPU, AFM pun hanya dijerat pasal 127 UU Narkotika dan akhirnya divonis hukuman penjara selama 1 tahun lebih.
Hal tersebut dapat kita pelajari bersama dari beberapa artikel dan press rilis kepolisian, bahkan di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan penuturan eks napi narkotika, bahwa pada setiap pengungkapan kasus narkotika, pasti ada kalimat “berdasarkan informasi masyarakat”, inipun menjadi pertanyaan besar dibenak saya pribadi, sementara paham hukum saya, menanyakan apa arti ” informasi masyarakat ” pada setiap pengungkapan kasus narkotika tersebut, tentunya makna dari masyarakat ini bersifat luas, melainkan bukan bersifat personalitas, dan selanjutnya ketika dimaknai masyarakat, apakah sevalid itu informasi yang dijadikan patokan yang memiliki kekuatan hukum untuk menjerat setiap orang? Bagaimana jika apa yang disebut “informasi masyarakat” itu salah atau hoaks?, lalu seperti apa kualitas para APH Indonesia?
Saya pernah berdiskusi oleh sesosok hakim yang tentunya berprestasi dibidangnya karena kapasitasnya yang mumpuni ditingkat Nasional, dan ketika itu secara spesifik saya menanyakan pengalaman beliau dalam proses peradilan tentang kasus pengungkapan narkoba, sehingga saya waktu itu dikejutkan oleh statemen beliau, bahwa beliau ketika bertugas diwilayah luar pulau jawa, pernah memvonis bebas seorang terdakwa pengguna narkoba, karena dianggap tidak memenuhi unsur penuntutan.
Bahkan beberapa waktu yang lalu, pada kasus pengungkapan Narkoba yang dilakukan oleh BNN Madura, dengan barang bukti sabu seberat 2 KG, yang merupakan sindikat jaringan Narkoba lintas Provinsi, ketua majelis hakim Pengadilan Negeri Sumenep, Arie Andhika Adikresna, menjatuhi vonis bebas terhadap salah satu terdakwa, karena diyakini tengah dalam kondisi tidak mengetahui apapun, tentang apa yang tengah dibawa oleh para kurir yang menyewa armada kendaraannya, tentu hal tersebut mengejutkan publik dan khalayak umum, khususnya Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang menduga bahwa semua yang terlibat akan dijatuhi hukum yang cukup berat.
Dari beberapa contoh kasus tersebut, tentunya akan bermunculan pertanyaan besar dibenak kita bersama, seperti apa sih pemahaman APH saat ini tentang supremasi hukum, bahkan sedalam apa sih pemahaman APH daerah terkait tagline POLRI PRESISI.
Pastinya, hukum Indonesia itu bersifat absolut dan mengikat. Sehingga kaidah hukumnya harus memenuhi syarat sah secara formil dan materiil. Hal tersebut merupakan harapan besar pada setiap penegakan hukum yang memaknai hukum positif Indonesia secara utuh dan bertanggungjawab, sehingga dimasa depan, tidak berjatuhan korban-korban dari sebuah konsep dasar tatanan dalam kita berkehidupan secara landasan ideologi Pancasila.
Kembali kepada polemik diatas, seakan-akan keterlibatan 2 oknum wartawan, seperti tergerus dalam circle polemik/konflik internal oknum Polres Sumenep, yang saya pun merasa enggan menulisnya.
Kesimpulannya, dari fenomena hukum yang sebelumnya dan yang saat ini tengah hangat diperbincangkan dikalangan masyarakat luas, bahwa dimana letak “kemurnian” hukum positif Indonesia bisa didapatkan oleh masyarakat kita? Tentunya tugas dan fungsi penyidik sangat menentukan nasib seseorang dalam setiap kepentingan hukumnya sendiri, SALAM SUPREMASI HUKUM POSITIF INDONESIA.
Penulis merupakan Jurnalis TV ONE, yang pernah mengenyam pendidikan akademik di Fakults Hukum Universitas Wiraraja Sumenep. (Red)