Penulis : Rausi Samurano
SUMENEP, NET88.CO
Seperti biasa Jakarta meskipun sudah ada “saingan” sebagai ibukota tetap saja ramai, macet dengan segala cerita dan sisi gelapnya. Aura keponggahan sebagai kota terbesar di Nusantara sangat terasa bahkan saat baru keluar dari pintu kendaraan kita.
“Bagi yang sudah beberapa kali ke ibukota takkan heran dengan suasananya karena ibukota memang harus sedemikian sepertinya, harus ada Gedung-gedung berdiri gagah harus ada cerita-cerita indah bercapur sedih, cerita menakjubkan bercampur tragedi, kesejateraan dan korupsi, pengayoman dan kekejaman,intrik dan kekejian, karena disini semua persoalan Bangsa itu “diolah” karena disini pusat kekuasaan dan pengaturan sejarah.
Diantara gedung-gedung mewah,Megah nan gagah itu ada beberapa gedung pemerintah yang berdekatan layaknya bergandengan tanpa celah, contoh misal Gedung kemeterian keuangan RI dan gedung Mahkama Konstitusi RI, bagai berkelindan disatu atap beda halaman.
Tapi ada beberapa yang sepintas membedakan, Gedung Mahkamah konstitusi memakai pilar-pilar dan Kubah layaknya mahkota raja,mungkin ini bukan tanpa tujuan ingin menunjukkan bahwa gedung ini sebagai “Raja” keadilan, penguasa tafsir atas UU RI benteng terakhir konstitusi. aura itu sangatlah tampak dengan pilar-pilar besar penyangga kubah mahkota bertuliskan “Mahakamah Konstitusi”.
Berbeda dengan gedung Kementerian keuangan, auranya berbau kesejahteraan,uang dan segala kekuasaan pengatur kekayaan. Tanpa tiang dan tanpa kubah mahkota tapi hanya gedung menjulang tinggi dengan dinding kaca-kaca, disinilah sirkulasi dan distrinusi uang itu diatur Kesan mewah juga terasa tapi ada sisi menakutkannya disebelah ada tulisan “Dirjen PERPAJAKAN”. perasaan langsung trauma dan banyang seram itu tambah menggema.
Kembali ke Gedung MK, di pintu gerbang ramai orang berjibaku tak semua orang bisa masuk ke dalamnya banyak orang berseragam kuning dan coklat mode mirip beda warna jadi penjaga. Kata sopir taksi online yang kami tumpangi ini tak seperti biasanya, mungkin gegara sengketa Pilkada, dan benar saja itu soal pilkada.
Pengacara-pengacara dari berbagai daerah (yang model dan gayanya mudah ditebak) berseleweran tentu dengan posisi dan harapan yang berbeda. Karena disini dapat diklasifikasi “Faksi” pengacara; Sebagai kuasa Pemohon (Tentu dari Paslon Yang Kalah Pilkada) Kuasa Termohon (Dalam Hal ini KPU) dan pihak terkait (dari Paslon yang mendapatkan suara terbanyak alias pemenang), terus Bawaslu ??. Bawaslu ga perlu Pengacara mereka “tangan kanan” Mahkamah untuk merekam suasana jalannya proses demokrasi pada kontestasi pilkada.
Beda posisi beda juga imajinasinya, pemohon mengharap permohonannya diterima dan termohon pasti berharap permohonannya pemohon ditolak MK.
Pihak terkait pasti berharap tetap ditetapkan sebagai pemenang pilkada.
Tentu semua harap dan Do’a yang berbeda ditujukan pada Tuhan yang Sama.
Makanya MK terlihat Sakral dan sedikit mistis dan menyeramkan mungkin karena semua mantra masuk ke sana, harapan dan Doa berperang ditempat yang sama dalil-dalil dan bukti-bukti pendukung diboyong ke sana tentu dengan tinta peluh dan airmata.
Keangkeran MK tidak hanya pada gedung para petugasnyapun begitu semua orang yang mau masuk baik sebagai pemohon,termohon,pihak terkait, bawaslu bahkan penontonpun diperiksanya satu-satu layaknya orang mau naik pesawat di bandara.
Apakah keangkeran itu hanya dipintu masuk..? ternyata tidak, pada ruang sidang dan para Hakim MK pun melekat keangkeran itu, sampe beberapa kali kuasa pemohon dari beberapa daerah yang grogi, salah baca,bingung ga bisa jawab pertanyaan Mahkamah atas tulisannya sendiri dan bahkan menyebut Mahkamah denga sebutan KIAI berkali-kali.
Ini tentu dapat dimaklumi karena ini mahkamah konstitsui bukan pengadilan Negeri. Tapi yang bikin ngeri Harga Kopi 55 ribu rupiah dan nasi goreng 180 ribu rupiah, ini Ngeri-ngeri meski sedap.
…… Jakarta kejam Jakarta keren Gadun FM bagi yang mampu, Moleah gelluh……
(Rausi Samorano. kereta Argo Bromo 09 Jan 2025)