NEWS  

Bupati Sumenep dan Seni Bertahan di Tengah Cacian Antara Kesabaran Tingkat Dewa dan Komentar Netizen yang Maha Benar

SUMENEP NET88.CO

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerjaan paling rawan disalahpahami di negeri ini bukanlah ilmuwan nuklir, bukan juga dalang wayang kulit. Tapi Bupati. Dan kalau boleh lebih spesifik: Bupati Sumenep.

Bayangkan, hampir tiap hari beliau dicaci, dimaki, dihina, dibulli (dengan dua L supaya dramatis). Kalau bisa dikata, beliau ini sudah langganan tetap di kolom komentar akun gosip dan forum Facebook warga Madura. Dan yang mencaci pun kadang tidak tanggung-tanggung: dari yang pakai bahasa halus, hingga yang sudah setara makian makhluk astral.

Namun, ajaibnya, si Bupati ini tetap adem. Tetap kerja. Tetap senyum di acara peresmian jembatan dan tetap hadir di pengajian emak-emak sambil bawa nasi kotak. Tidak ada bantahan keras. Tidak ada klarifikasi ala selebritas. Tidak ada baper. Bahkan tidak ada open BO alias Buka Omongan di media sosial. Ya ampun, strong banget, Pak.

BACA JUGA :
Resepsi Bertajuk Desa Bangkit Menuju Indonesia Emas di Desa Banyuputih Menuai segi Positif Bagi Masyarakat

Kita sebagai rakyat yang hanya bisa mengkritik dari kolom komentar, kadang bingung sendiri. Kok bisa ya? Beliau ini pakai susuk kesabaran apa? Atau jangan-jangan sudah khatam kitab Emosi untuk Pemula karya Dalai Lama?

Padahal kalau mau ditelusuri, prestasi Sumenep lumayan ngegas juga. Pertumbuhan ekonomi salah satu yang tertinggi di Jawa Timur. Pembangunan infrastruktur jalan, sektor pariwisata seperti Gili Labak yang makin viral, dan geliat UMKM yang katanya sampai bikin ibu-ibu arisan mulai jualan homemade granola. Tapi ya begitulah, netizen kita masih lebih cepat mengetik “gagal total” daripada mencari data BPS.

Menurut Profesor Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, manusia memang punya bias negatif, yaitu kecenderungan untuk lebih cepat menangkap hal-hal buruk ketimbang yang baik. Jadi, kalau ada 10 prestasi dan satu kesalahan kecil, ya yang dibahas pasti kesalahan itu. Netizen kita, rupanya sudah S3 di bidang bias negatif ini. Luar biasa.

BACA JUGA :
Penutupan Pendaftaran, Kini Sutarto Oenthersa Calon Tunggal Ketua KONI

Namun, Bupati Sumenep tidak gentar. Ia seperti sedang main catur melawan komentar pedas, tapi terus senyum sambil bikin langkah strategis. Seolah berkata, “Komentar kalian saya bawa salat saja, biar Allah yang nilai.”

Dalam dunia filsafat, sikap ini disebut stoikisme, sebuah ajaran dari Zeno dan kawan-kawannya yang menyarankan kita untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Kalau mau dipakai di konteks Sumenep, ya Bupati tidak bisa kendalikan netizen. Tapi beliau bisa kendalikan APBD, pembangunan, dan kebijakan publik. Dan itu yang beliau lakukan.

Lalu, dari mana datangnya caci-maki itu? Banyak teori. Mungkin karena ekspektasi terlalu tinggi. Mungkin karena budaya mengeluh sudah jadi semacam hobi. Atau mungkin karena netizen sedang bosan saja, dan mencari bahan nyinyir lebih mudah daripada baca laporan statistik.

BACA JUGA :
Warga Rt 04 Rw 05 Gelar Silaturahmi dan Temu Kangen

Tapi satu hal yang pasti: diamnya sang Bupati justru menjadi pelajaran berharga. Bahwa di tengah gemuruh kritik, kerja nyata masih lebih lantang dari semua ocehan. Bahwa prestasi tak selalu butuh koar-koar. Dan bahwa terkadang, jadi Bupati itu tidak cukup hanya paham administrasi negara, tapi juga harus lulus ujian kesabaran level langit ke tujuh.

Akhir kata, untuk netizen budiman: sesekali boleh lah turunkan jempol, angkat kepala, dan lihat ke sekitar. Siapa tahu jalan yang kalian lewati itu dibangun oleh orang yang sedang kalian hina.

Bambang Supratman
(Tukang Ngarit)