Magetan — Net88.co — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai upaya menyiapkan Generasi Emas Indonesia kini tengah mendapat sorotan tajam setelah muncul dugaan kasus keracunan makanan di SDN Kediren 2, Kecamatan Lembeyan.
Meski Bupati Magetan Nanik Sumantri telah menyampaikan keprihatinan dan apresiasi atas penanganan cepat pihak terkait, kalangan pemerhati kebijakan publik menilai peristiwa ini tidak bisa dianggap sebagai insiden biasa. Bagi para aktivis, kejadian tersebut adalah indikasi lemahnya sistem pengawasan dan tanggung jawab publik dalam implementasi program besar yang menyentuh langsung anak-anak sekolah.
“Ini bukan soal siapa yang salah, tapi soal bagaimana sistemnya bekerja. Program dengan skala besar seperti MBG harus memiliki rantai pengawasan yang ketat, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan,” ujar salah satu aktivis Magetan, Rudi Setiawan, yang menilai kasus ini harus dijadikan momentum pembenahan.
Menurut Rudi, pemerintah seharusnya tidak hanya menenangkan masyarakat dengan pernyataan bahwa anak-anak sudah sehat, tetapi juga mengungkap secara terbuka hasil investigasi, sumber bahan pangan, serta proses distribusi dan pengolahannya.
“Kita perlu tahu dari mana bahan pangan itu berasal, siapa penyedianya, bagaimana standar kebersihannya, dan siapa yang melakukan pengawasan di lapangan. Tanpa itu, publik tidak akan percaya bahwa kasus ini bisa dicegah di masa depan,” tegasnya.
Bupati Nanik Sumantri dalam keterangannya menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Magetan akan terus melakukan evaluasi, monitoring, dan pengawasan ketat melalui Satgas MBG serta melibatkan berbagai dinas teknis seperti Dinkes, DPMPTSP, dan Disdikpora. Ia juga mengajak masyarakat untuk aktif melaporkan dugaan pelanggaran melalui kanal PSC 119.
Namun di sisi lain, para aktivis menilai upaya tersebut belum menyentuh akar persoalan. Minimnya transparansi anggaran, lemahnya kontrol terhadap penyedia makanan (SPPG), serta belum meratanya sertifikasi higiene dan sanitasi, dinilai menjadi titik rawan yang membuka peluang terjadinya kelalaian.
Data dari Dinas Kesehatan menyebutkan bahwa hasil inspeksi kesehatan lingkungan baru mencapai sekitar 80 persen, sementara pelatihan bagi penjamah makanan masih berjalan bertahap. Fakta ini, menurut aktivis, menunjukkan bahwa standar kesiapan di lapangan belum sepenuhnya matang, meski program telah berjalan.
“Ketika bicara soal anak-anak, kita tidak boleh kompromi dengan standar keamanan pangan. Satu kasus saja bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap program nasional,” tambah Rudi.
Para pemerhati juga mendesak agar pemerintah membuka akses publik terhadap laporan pengawasan MBG, termasuk siapa penyedia bahan pangan, hasil uji laboratorium, hingga mekanisme evaluasi kontrak kerja.
“Transparansi itu hak publik, bukan sekadar wacana. Kalau pemerintah yakin sistemnya benar, maka data dan hasil pengawasan mestinya bisa diakses masyarakat,” pungkasnya.
Peristiwa dugaan keracunan di SDN Kediren 2 menjadi pengingat keras bahwa keberhasilan program sosial bukan hanya diukur dari jumlah penerima manfaat, tetapi dari sejauh mana pemerintah menjamin keselamatan dan akuntabilitas publiknya. (Vha)