Ada Perbedaan Daftar Bupati ke-2 Magetan, Aktivis Budaya Andri Agus Setiawan Minta Pemkab Meluruskan

Magetan || Net88.co || Sejarah mencatat berbagai peristiwa dari satu masa ke masa lainnya dan menyebabkan perannya menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, sejarah dapat menjadi penghubung dari generasi sekarang dengan generasi terdahulu. Melalui berbagai tulisan sejarah, generasi sekarang dapat mengetahui dan memahami berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau, sehingga generasi sekarang dapat menentukan sikap dan langkah-langkah kehidupannya menuju masa depan.

Namun faktanya, jika berbicara tentang sejarah tentu bukanlah perkara mudah dalam merumuskannya, bahkan jika tak ada peninggalan yang tersisa maka dapat dipastikan bahwa akan mengalami perbedaan versi dari sisi sumber yang tentunya akan sangat membingungkan.

Hal itu juga yang saat ini tengah disoroti oleh seorang Aktivis Budaya asal Magetan Andri Agus Setiawan, yang diwawancarai secara eksklusif oleh awak media beberapa waktu lalu.

Dirinya mengkritisi adanya perbedaan catatan sejarah diantara Tugu Nol Kilometer Magetan dengan website Wikipedia serta website resmi Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Magetan yang berkaitan dengan daftar nama Bupati Magetan dari waktu ke waktu.

Terdapat perbedaan yang mencolok terkait daftar Bupati Magetan pertama yang ditulis pada Tugu Nol Kilometer yakni Adipati yosonegoro pada 12 Oktober 1675, kemudian Bupati ke-2 Adipati Purwodiningrat tahun 1713. Hal tersebut berbeda dengan apa yang ada dalam website resmi arpus.magetan.go.id yang ditulis pada bulan Oktober tahun 2021 lalu. Didalamnya menceritakan bahwa Bupati kedua Magetan tahun 1703-1709 dipimpin oleh Raden Ronggo Galih Tirto Kusumo, tahun 1709-1730 dipimpin oleh Bupati ketiga Raden Mangunrono, tahun 1730-1743 dipimpin oleh Bupati keempat Temenggung Citrodiwiryo, tahun 1743-1755 dipimpin Bupati kelima Raden Arya sumoningrat, kemudian pada tahun 1755-1790 dipimpin Bupati yang keenam Adipati Purwodiningrat.

Dilansir dari buku “Magetan dalam Panggung Sejarah Indonesia” karya Sukarjan tahun 2014, dan dari berbagai sumber lainnya, diketahui Adipati Purwodiningrat merupakan mertua dari dari Sri Sultan Hamengkubuwono II yang lahir pada tahun 1750. Dapat ditarik kesimpulan jika Adipati Purwodiningrat menjadi Bupati kedua Magetan yakni pada tahun 1713 maka rentan waktu selisihnya terlampau sangat jauh, oleh sebab itu terlihat ada kejanggalan didalamnya.

Menurut Andri, Tugu Nol Kilometer saat ini merupakan salah satu icon Kabupaten Magetan serta dikunjungi banyak orang. Bahkan tak sedikit para siswa juga berkunjung ke tempat tersebut untuk belajar tentang sejarah. Namun karena terdapat perbedaan daftar nama tulisan Bupati Magetan dari masa ke masa di Nol Kilometer sehingga sangat perlu untuk diluruskan agar tidak terjadi pembengkokan sejarah, dampak lebih buruknya dapat memantik polemik dan persepsi berbeda di masyarakat. Dalam hal ini Andri mempertanyakan darimana sumber sejarah yg tertera di Tugu Nol Kilometer tersebut.

“Ini yang aneh, harusnya diluruskan, kalau seperti ini itu namanya pembodohan publik, masa kita sebagai putra daerah, pribumi tapi tidak tahu sejarah kita sendiri, kalau seperti ini sama saja kita tidak menghargai para leluhur kita,” katanya.

Dirinya menegaskan bahwa permasalahan tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas yang berkaitan.

“Di website Arpus dinaikkan pada Oktober 2021 lalu, dan itu sudah satu tahun lebih berlalu, tentu ini menjadi PR kita bersama terutama Pemkab Magetan agar meluruskan sejarah dengan mengacu sumber yang jelas,” imbuhnya.

Diakhir wawancara Andri mengingatkan dengan belajar sejarah generasi muda dapat mengetahui sejarah bangsanya, dapat mengetahui bagaimana pejuang atau pahlawan bisa mengusir penjajah selain itu generasi muda bisa mengambil makna dari sejarahnya contohnya semangat dan rasa nasionalisme.

Apabila terjadi perbedaan versi sejarah yang tidak jelas sumbernya maka akan terjadi adanya bias sejarah yang berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap identitas daerahnya sendiri.

“Itu efeknya sangat luar biasa, generasi kita tidak akan mengenal sejarah jika catatannya sendiri masih terlihat bias dan belum jelas sumbernya,” pungkasnya. (Vha)

vvvv