NEWS  

Lima Sekolah Tolak Siswa Korban Bullying, Orang Tua Pertanyakan Komitmen Pendidikan Magetan

Oplus_131072

Magetan — Net88.co — Kasus dugaan tindakan bullying yang menimpa seorang pelajar SMP di Kecamatan Maospati, Kabupaten Magetan, terus menjadi sorotan publik. Ironisnya, alih-alih mendapatkan perlindungan dan kemudahan akses pendidikan, keluarga korban justru mengaku dipersulit saat hendak memindahkan sang anak ke sekolah lain.

Fendy Sutrisno, orang tua korban, mengungkapkan bahwa dirinya telah berusaha mendaftarkan anaknya ke sejumlah sekolah menengah pertama di wilayah Maospati, Barat, hingga Karangrejo. Namun, upaya itu berakhir dengan penolakan.

“Saya sudah ke SMP 1 Barat, SMP 2 Barat, SMP 2 Maospati, SMP 3 Maospati, bahkan ke SMP 2 Karangrejo. Semua menolak anak saya dengan alasan kuota penuh, padahal ada beberapa sekolah yang muridnya tidak banyak,” ujar Fendy saat ditemui awak media.

BACA JUGA :
Penyerobotan Tanah Libatkan Oknum Bayan, Warga Desa Milangasri Lapor Polisi

Kondisi itu menimbulkan dugaan adanya intervensi yang membuat siswa korban bullying oknum guru SMPN 1 Maospati tersebut semakin tersisih. “Anak saya kan korban, bukan pelaku. Apalagi masih di bawah umur. Seharusnya dilindungi, bukan malah dipersulit dan dikucilkan. Kalau seperti ini, sama saja hak anak saya untuk memperoleh pendidikan dirampas dengan alasan yang dibuat-buat,” imbuhnya.

Lebih jauh, Fendy menyoroti fenomena bullying di sekolah-sekolah Kabupaten Magetan. Menurutnya, kasus serupa cukup banyak terjadi, baik antar siswa maupun melibatkan oknum guru. Namun, banyak pihak memilih diam karena khawatir akan intimidasi atau intervensi.

BACA JUGA :
Polres Magetan Gelar Press Release Akhir Tahun 2023, Ini Sejumlah Kasus yang Telah Diselesaikan

“Saya sangat prihatin dan kecewa dengan kondisi pendidikan di Magetan. Semoga ke depan kejadian seperti ini tidak menimpa anak-anak lain,” tegasnya.

Karena tidak mendapatkan akses ke sekolah formal, akhirnya Fendy memutuskan memasukkan anaknya ke Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) nonformal untuk mengikuti program kesetaraan Paket B. “Agar anak saya bisa kembali belajar di lingkungan yang nyaman, saya masukkan ke SKB nonformal,” tandasnya.

BACA JUGA :
Warisan Leluhur di Lereng Lawu, Tradisi Dawuhan Senopati Desa Pacalan Terus Dilestarikan

Padahal, Pasal 31 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mewajibkan negara menyediakan pendidikan bagi setiap anak, terutama pada jenjang dasar hingga menengah. Wajib belajar 12 tahun menjadi mandat konstitusional yang seharusnya tidak boleh dihalangi oleh alasan administratif, apalagi faktor intimidasi.

Ironisnya, di Magetan hal itu justru seakan tak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus bullying yang muncul kerap ditutup rapat, sehingga korban tidak mendapatkan keadilan, bahkan dalam hal paling mendasar: hak untuk bersekolah. (Vha)