SUMENEP NET88.CO – Di balik meja panjang rapat-rapat birokrasi, di lorong-lorong sunyi kantor pemerintahan, ada satu jabatan yang nyaris tak pernah sepi dari aroma persaingan: Sekretaris Daerah. Mengapa jabatan ini begitu diperebutkan? Apakah semata karena statusnya sebagai puncak karier tertinggi bagi Aparatur Sipil Negara? Jawaban itu terlalu klise—dan tidak cukup.
Sekda adalah figur sentral yang berdiri tepat di persimpangan kekuasaan eksekutif. Ia bukan hanya manajer birokrasi, tetapi juga aktor politik yang memegang kunci atas sirkulasi anggaran, kebijakan, hingga stabilitas hubungan antarlembaga. Ia adalah “orang ketiga” dalam struktur pemerintahan daerah—sebuah posisi yang kerap terjebak di antara tarik-menarik kepentingan sang kepala daerah dan wakilnya.
Ibarat adipati dalam sistem kerajaan lama, Sekda mesti lihai memainkan peran ganda: menjadi komunikator yang diplomatis antara kepentingan Bupati dan kemauan politik Wakil Bupati, sekaligus benteng pertahanan terhadap guncangan dari luar dan dalam. Tapi bukan itu saja. Dalam sistem penganggaran daerah, Sekda adalah Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)—di tangannya digodok triliunan rupiah uang negara. Ia memutuskan arah alokasi dana, siapa yang menerima dan untuk tujuan apa.
Sekda harus mampu membaca arah angin politik kepala daerah, memahami ritme dan irama kekuasaan, dan mengamankan kepentingannya—kadang secara elegan, kadang dengan permainan angka-angka yang tak kasat mata. Dalam relasinya dengan DPRD, Sekda tak cukup hanya cerdas dan pintar. Ia harus piawai berdiplomasi, mampu menjadi “juru runding” dalam pertarungan wacana dan kepentingan anggaran. Di titik ini, peran Sekda bukan sekadar administratif—tapi politis, bahkan ideologis.
Namun dari semua kompetensi teknis dan politis itu, satu syarat yang tak bisa ditawar: loyalitas. Dalam banyak kasus, seorang Sekda tidak hanya dipilih karena kapasitasnya, tapi seberapa dalam ia dipercaya oleh Bupati. Loyalitas yang tidak semata pada jabatan, melainkan pada visi politik kepala daerah yang sedang berkuasa. Tanpa itu, jabatan Sekda bisa berubah menjadi bumerang. Kepala daerah bisa “diplockoto”—dibajak secara halus oleh aparaturnya sendiri.
Kini, pasca pensiunnya Edy Rasiyadi dari kursi Sekda Kabupaten Sumenep, muncul pertanyaan krusial: siapa yang pantas menggantikannya? Di kalangan birokrasi lokal, beberapa nama mulai mencuat dan diperbincangkan sebagai figur potensial.
Ada Erik, Kepala Dinas PUTR, yang dikenal teknokratik dan memiliki jaringan kuat di bidang infrastruktur. Kemudian Agus, Kepala Dinas Pendidikan, dengan pengalaman panjang mengelola sektor vital yang menyentuh hajat hidup masyarakat luas. Moh. Ramli, Kepala Dinas Koperasi dan Perdagangan, juga disebut-sebut, berkat kepiawaiannya membangun hubungan dengan pelaku ekonomi lokal. Pak Chainur Rasyid (Inung) dari Dinas Pertanian, dikenal sebagai birokrat yang kalem namun eksekutor yang andal. Tak ketinggalan Yayak, dari PUPR, dengan reputasi cukup solid dalam menjaga ritme pembangunan fisik daerah. Dan tentu saja Arif Firmanto, Kepala Bappeda, yang kerap disebut sebagai “arsitek kebijakan” dengan peran strategis dalam perencanaan pembangunan daerah.
Namun apakah cukup hanya dengan pengalaman? Tentu tidak. Calon Sekda harus diukur dengan lebih presisi: apakah mereka mampu menerjemahkan visi Bupati dalam program-program konkret? Apakah prestasi dan inovasi yang mereka hasilkan selama memimpin OPD cukup berdampak dan terukur? Bagaimana gaya komunikasi mereka dengan legislatif, media, LSM, dan kelompok masyarakat sipil? Apakah mereka punya sensitivitas politik sekaligus ketegasan manajerial?
Bupati pun tak bisa asal tunjuk. Ia harus memiliki standar dan alat ukur yang ketat. Jika tidak, ia berisiko kehilangan kendali arah pemerintahan. Pilihan yang salah bukan hanya melemahkan posisi Bupati sendiri, tapi juga menyandera pelayanan publik, memperlambat pembangunan, dan membuka celah bagi kompromi politik yang tidak sehat.
Karena jabatan Sekda bukan sekadar soal siapa yang paling senior atau siapa yang paling dikenal. Ini soal siapa yang paling siap—secara moral, intelektual, dan politik—untuk menggerakkan mesin birokrasi dalam irama yang selaras dengan visi kepala daerah.
Dan ketika jabatan Sekda jatuh ke tangan yang salah, maka bukan hanya Bupati yang kehilangan kendali. Publik pun ikut menanggung risiko—dalam bentuk kebijakan yang tumpul, anggaran yang tak tepat sasaran, dan pelayanan publik yang stagnan. Maka wajar jika posisi ini begitu diperebutkan. Karena di baliknya, tersembunyi kekuasaan yang tak kasat mata—namun menentukan arah sebuah daerah.
Penulis : Febrian IBM