NEWS  

OTT LSM di Sumenep: “Ironi Penegakan Hukum yang Menyisakan Tanda tanya”

SUMENEP NET88.CO

Penangkapan—atau meminjam istilah yang diklaim oleh kepolisian, operasi tangkap tangan (OTT)—terhadap salah satu anggota LSM dan oknum staf Inspektorat Pemkab Sumenep menjadi panggung publik yang penuh dramatika. Bukan hanya substansi perkaranya yang menyedot perhatian, tapi justru proses penangkapannya yang menciptakan sensasi, apalagi setelah video penangkapannya tersebar luas.

Video yang merekam detik-detik penggerebekan itu dengan sinematik penuh tensi—layaknya film India yang penuh dramatisasi dan sedikit sentuhan tragis—membuat kita bertanya-tanya: benarkah ini OTT? Atau sekadar setting-an dengan naskah dan pemain yang sudah ditentukan?

Pepatah Arab mengatakan, “idza tammal amru badaa naqshuhu”—jika suatu perkara tampak sempurna, maka saat itulah cacatnya mulai tampak. Maka mari kita bedah, tidak dengan tensi tinggi, tapi sembari menyeruput kopi dan menelusuri fakta-fakta yang tampak janggal.

Pertama: OTT atau Penangkapan Terencana?

Video yang beredar menunjukkan bahwa penangkapan dilakukan dengan rapi, terstruktur, dan seolah telah diskenariokan. Polisi membawa dokumen—yang diyakini sebagai surat perintah penangkapan—sebuah hal yang janggal dalam konteks OTT.

BACA JUGA :
Kerjasama yang Baik, DPRD dan Pemkab Sampang Sepakati Dua Raperda Penting

Mengapa? Karena dalam skema OTT, peristiwa kejahatan seharusnya tertangkap basah, spontan, dan tidak melalui tahapan surat penangkapan yang terbit setelah proses penyelidikan dan penyidikan. Apalagi, surat perintah hanya bisa keluar setelah ada laporan polisi yang diverifikasi, diperiksa pelapor dan saksi-saksi, bahkan dipanggil dulu pihak terlapor.

Lantas, jika surat perintah sudah dibawa saat penggerebekan, sejak kapan proses hukum itu berjalan? Dan jika hanya berlandaskan dumas—pengaduan masyarakat—apakah sudah dilakukan verifikasi kebenarannya? Bagaimana jika ternyata hanya fitnah?

Kedua: Barang Bukti yang Diperdebatkan

Dalam video, tampak uang di atas meja, konon disebut sebagai barang bukti pemerasan. Tapi anehnya, uang itu tidak sedang berada dalam penguasaan tersangka. Bahkan, polisi yang mendorong agar tas dibuka, dan polisi pula yang membuka tas tersebut.

Dalam logika hukum pidana, barang bukti harus dapat dibuktikan sebagai hasil atau sarana kejahatan dan berada dalam penguasaan atau kontrol pelaku. Jika uang itu berada di atas meja dan bukan di tangan atau kantong tersangka, bagaimana mengaitkan secara langsung bahwa itu milik pelaku, atau hasil kejahatan?

BACA JUGA :
Satpol PP Tulungagung Bersama Bea Cukai Blitar Gencar Razia Rokok Ilegal

Bagaimana jika nanti di pengadilan, tersangka mengaku uang itu bukan miliknya, dan ia tidak tahu-menahu soal itu? Atau uang itu ternyata untuk keperluan lain yang sah—membayar hutang misalnya?

Ketiga: Siapa Sebenarnya Pelapor?

Salah satu adegan dalam video menunjukkan seorang perempuan yang tampak terperanjat dengan kejadian tersebut—yang kemudian diketahui sebagai Kepala Desa—dibentak oleh polisi saat proses penangkapan berlangsung. Reaksinya tampak natural: seperti tidak tahu bahwa akan ada OTT.

Lantas muncul pertanyaan, siapa sebenarnya yang menjadi pelapor? Jika kelak Kepala Desa ini dijadikan saksi dan dicecar oleh kuasa hukum tersangka dengan pertanyaan semacam: “Apakah Anda yang melapor?” dan jawabannya tidak jelas, kredibilitas seluruh perkara bisa runtuh.

Keempat: Sadapan, Bukti atau Pelanggaran?

Jika polisi berdalih bahwa mereka telah melakukan tracking atau pelacakan terhadap pelaku sebelum OTT, maka yang menjadi pertanyaan: melalui metode apa? Apakah menggunakan penyadapan?

BACA JUGA :
Pemkot Pangkalpinang Bersamai Internalisasi dan Institusionalisasi Pancasila Di Ponpes Modern Hidayatussalikin

Jika iya, maka penyadapan harus melalui prosedur yang sah, yakni dengan izin tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Jika penyadapan dilakukan tanpa legalitas ini, maka bukan hanya tidak sah, tapi dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum dan berpotensi dibalikkan menjadi gugatan balik terhadap institusi penegak hukum.

Dan jika tidak ada penyadapan, lantas dari mana keyakinan penyidik bahwa akan terjadi transaksi pemerasan? Adakah pengawasan fisik sebelumnya, atau hanya berdasarkan informasi mentah?


Akhirnya, kita dihadapkan pada satu ironi hukum: penegakan hukum yang menyisakan tanda tanya.

Apakah ini OTT yang sesungguhnya? Ataukah hanya penangkapan biasa yang dikemas dalam narasi OTT untuk efek dramatis di ruang publik? Biarlah polisi dengan versinya, media dengan liputannya, dan masyarakat dengan logikanya.

Namun satu hal pasti: jika hukum ingin dipercaya, maka prosesnya pun harus terang, bukan remang. Jika keadilan ingin ditegakkan, maka pertunjukannya tak boleh seperti panggung sandiwara.

Kita tunggu episode selanjutnya.

Asmuni (ALIANSI SUMENEP BANGKIT)